Reformasi Parpol dan Pemilu Mengemuka Usai Gelombang Demo

Akademisi Hukum Universitas Bandar Lampung Dr Wendy Melfa. Ilustrasi: Wildanhanafi/onetime.id.

Onetime.id, Bandar Lampung – Gelombang demonstrasi yang melanda Jakarta dan sejumlah daerah akhir Agustus 2025 bukan hanya meninggalkan kerusakan fasilitas publik, penjarahan, hingga jatuhnya korban jiwa.

Bagi akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL), Wendy Melfa, fenomena itu juga menjadi cermin krisis kepercayaan terhadap sistem politik dan parlemen.

“Eskalasi protes ini dipicu kebijakan negara yang dinilai menekan rakyat. Mulai dari kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR yang fantastis, kinerja parlemen yang tak sebanding dengan fasilitasnya, sampai perilaku joget-joget anggota DPR yang melukai rasa keadilan publik,” kata Wendy pada Senin (8/9/2025).

Kasus meninggalnya Afan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi, menurut Wendy, menjadi klimaks kemarahan rakyat.

“Ini alarm serius bahwa jurang antara elite dan rakyat makin lebar,” ujarnya.

Disparitas Partai dan Rakyat

Wendy menilai, akar masalah terletak pada disparitas kepentingan antara rakyat dan partai politik.

Partai, kata dia, cenderung menyeleksi calon legislatif berdasarkan popularitas atau kemampuan finansial, bukan integritas dan kapabilitas.

“Output parlemen yang buruk tak bisa dilepaskan dari input yang keliru. Bagaimana bisa menghadirkan wakil rakyat berkualitas jika proses rekrutmen lebih mengutamakan popularitas artis atau modal finansial caleg?” katanya.

Orientasi parpol untuk meraih kursi sebanyak mungkin, lanjutnya, membuat nilai-nilai integritas dan kompetensi terabaikan.

Hasilnya terlihat pada kinerja anggota parlemen pasca Pemilu 2024 yang dinilai jauh dari harapan rakyat.

Pintu Masuk Reformasi

Menurut Wendy, momentum demonstrasi ini semestinya dijadikan pintu masuk untuk mereformasi sistem politik.

Reformasi parpol dan pemilu, katanya, harus dilakukan serentak.

“Prinsip keterwakilan harus lebih diutamakan ketimbang sekadar keterpilihan. Calon anggota legislatif seharusnya memiliki portofolio pendidikan, pengalaman, dan integritas yang terukur,” ucapnya.

Ia juga menekankan pentingnya pembiayaan pemilu oleh negara, agar praktik politik uang bisa ditekan.

“Dengan sanksi hukum yang ketat dan prinsip equality before the law, integritas pemilu bisa dijaga,” katanya.

Wendy mengingatkan, perbaikan sistem politik bukan semata menjawab tuntutan demonstrasi, tapi juga kebutuhan mendasar bangsa.

“Ini bagian dari pengejawantahan sila keempat Pancasila, agar demokrasi kita benar-benar berlandaskan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *