Onetime.id, Bandar Lampung – Kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang menyeret sejumlah anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung menuai sorotan akademisi hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Prof. Zainab Ompu Jainah, menilai proses hukum yang berujung pada rehabilitasi rawat jalan menyisakan tanda tanya publik.
“Awalnya diberitakan barang bukti hanya tujuh butir ekstasi, tapi informasi lain menyebutkan pembelian narkotika dilakukan dalam dua paket berisi 20 butir. Kalau jumlahnya benar 20 butir, penerapan Pasal 127 saja menjadi kurang tepat,” ujar Prof. Zainab saat dimintai tanggapan, Senin (8/9/2025).
Menurut dia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang memberi ruang rehabilitasi bagi pecandu maupun korban penyalahgunaan.
Pasal 54 mengatur kewajiban rehabilitasi medis dan sosial, Pasal 103 memberi kewenangan hakim menetapkan rehabilitasi, dan Pasal 127 memungkinkan penyalahguna narkotika golongan I dijatuhi hukuman maksimal empat tahun penjara atau ditempatkan dalam rehabilitasi.
“Namun, bila barang bukti mencapai 20 butir, itu sudah melebihi batas wajar konsumsi pribadi. Bisa saja masuk kategori kepemilikan atau bahkan peredaran sebagaimana diatur Pasal 112 dan 114,” jelasnya.
Ia menambahkan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 sebenarnya menekankan pentingnya asesmen terpadu.
“Pertanyaan publik wajar muncul, apakah asesmen dalam kasus ini dilakukan obyektif? Apakah tersangka murni pengguna? Apakah seluruh barang bukti sudah diungkap?” kata dia.
Prof. Zainab mengingatkan, praktik hukum yang berbeda antara masyarakat kecil dan kelompok berstatus sosial-ekonomi tinggi dapat menimbulkan diskriminasi.
“Sering kali rakyat kecil yang tertangkap hanya dengan satu butir pil justru dipenjara. Sementara orang dengan posisi tertentu mendapat ‘penyelamatan’ lewat rehabilitasi. Itu berbahaya bagi kepercayaan publik,” ujarnya.
Sebagai akademisi, ia menekankan empat poin penting. Pertama, delik hukum dalam kasus ini minimal Pasal 127, dan berpotensi Pasal 112 atau 114.
Kedua, rehabilitasi bisa dibenarkan tetapi harus disertai asesmen yang transparan dan akuntabel.
Ketiga, kasus ini menunjukkan masalah klasik penegakan hukum narkotika selective enforcement dan potensi ketidakadilan.
Keempat, idealnya hasil asesmen dibuka ke publik untuk memastikan prosedur hukum berjalan sebagaimana mestinya.
“Secara normatif, rehabilitasi memang sah. Tapi jika 20 butir ekstasi hanya diproses sebagai pemakaian pribadi, ada inkonsistensi serius. Batas antara penyalahguna dan pengedar jadi kabur,” tegas Prof. Zainab.
Ia berharap, kasus HIPMI Lampung menjadi momentum memperkuat penegakan hukum yang adil, konsisten, dan transparan.
“Kalau tidak, ini bisa menjadi preseden buruk dalam pemberantasan narkotika di Lampung maupun Indonesia,” pungkasnya.