Berita  

PT SGC Jajah Warga Dengan Perjanjian Plasma, Hak Warga Tranmigrasi Dikebiri

Onetime.id, Lampung Tengah – Sorotan tajam kembali mengarah pada PT Sugar Group Companies (SGC). Warga dari tiga desa transmigrasi  SP1 (Karya Makmur), SP2 (Terusan Makmur), dan SP3 (Tri Tunggal Jaya) menyebut bahwa perjanjian plasma antara mereka dengan SGC bukan lagi bentuk kemitraan, melainkan alat penjajahan modern yang mengebiri hak-hak dasar transmigran.

Dalam berbagai aksi dan forum yang digelar, warga menyuarakan bahwa selama hampir 30 tahun, tanah yang seharusnya menjadi hak garapan rakyat justru dikuasai perusahaan dengan dalih kerjasama plasma.

Namun, dalam praktiknya, petani plasma tak memiliki kontrol atas hasil, harga, bahkan pengelolaan lahannya sendiri.

“Ini bukan kemitraan. Ini penyerahan paksa yang dibungkus legalitas. Kami tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tanah kami dikuasai, hasilnya kami cuma dapat ampas” ungkap Ngadiman, tokoh masyarakat dari SP2.

Berdasarkan laporan dari masyarakat, hasil tebu dari lahan plasma bahkan tak lebih dari Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per tahun per hektare.

Sementara itu, perusahaan tetap memanen keuntungan besar dari produksi dan ekspor gula.

Agung Berlian, Gubernur Fakultas Ekonomi Universitas Malahayati, dengan lantang menyebut sistem ini sebagai bentuk penjajahan terselubung:

“SGC dan pemerintah menjadikan rakyat sebagai alat politik dan ekonomi. Setiap mendekati pemilu, harga panen naik bisa Rp 9 juta per hektare. Tapi pasca pemilu, kembali anjlok. Artinya apa? Rakyat dijadikan komoditas, bukan mitra. Ini bentuk kolonialisme gaya baru,”jelasnya.

Tak hanya soal hasil yang kecil, warga juga menyoroti ketertutupan informasi, perjanjian yang tidak adil, dan tidak adanya transparansi dalam pengelolaan plasma.

Banyak yang bahkan tidak pernah membaca isi kontrak, tapi dipaksa tunduk pada aturan sepihak perusahaan.

Muhammad Kamal, Presiden Mahasiswa Universitas Malahayati, menegaskan bahwa perjanjian plasma telah menjadi senjata hukum untuk melemahkan posisi rakyat:

“Ini bukan sekadar kontrak, tapi senjata legal untuk menjajah petani kecil. Kami menuntut dibongkarnya sistem plasma ini dan pengembalian hak atas tanah kepada warga,”tandasnya.

Kini masyarakat bersama mahasiswa dari berbagai universitas di Lampung menyerukan tiga tuntutan utama:

1. Pengembalian hak kelola lahan plasma kepada warga transmigrasi.

2. Penghapusan perjanjian sepihak dan pembentukan perjanjian baru yang adil dan transparan.

3. Pendefinitifan administratif Desa SP1, SP2, dan SP3.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *