Onetime.id, Bandar Lampung – Gelombang demonstrasi serentak yang meletup di berbagai daerah dipandang sebagai akumulasi dari jurang (gap) antara rakyat dengan wakilnya di lembaga kekuasaan.
Pengamat politik Universitas Lampung (Unila), Bendi Juantara, menyebut fenomena itu menegaskan belum maksimalnya fungsi representasi politik di parlemen.
“Rakyat melihat wakilnya tidak merasakan kondisi yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Inilah kulminasi gap yang kuat,” kata Bendi, Selasa, (2/8/2025).
Menurutnya, wakil rakyat seharusnya menempatkan diri pada arena pengabdian dan keberpihakan.

Dari sana, tujuan akhirnya sederhana membangun komunikasi intensif dengan masyarakat dan menyiapkan peta jalan yang solutif, sesuai kebutuhan dan kepentingan utama rakyat.
“Jika tidak bergerak ke arah sana, maka tuntutan rakyat akan tetap hidup,” ujarnya.
Bendi menilai polemik soal tunjangan dan penghasilan anggota dewan yang kerap mencuat ke publik hanyalah salah satu kasus kecil.
Yang lebih penting adalah bagaimana jabatan kekuasaan benar-benar menghasilkan output dan outcome yang sesuai dengan harapan rakyat.
“Semua aspek yang berkaitan dengan jabatan kekuasaan itu harus berfungsi sesuai capaian yang dihasilkan. Tidak sekadar menikmati fasilitas tanpa memberi hasil nyata,” katanya.
Ke depan, Bendi berharap konsistensi partisipasi politik masyarakat sipil tetap terjaga.
Ia menilai civil society harus memainkan peran penting sebagai pengontrol jalannya kekuasaan.
“Dengan sistem check yang berjalan, kontrol rakyat terhadap kekuasaan akan terus hidup,” ujarnya.
Ia menegaskan, pengawasan tidak hanya bisa dilakukan dari dalam sistem, melainkan juga dari luar kekuasaan dengan cara-cara demokratis.
“Kuncinya bukan sekadar mengoreksi dari dalam, tetapi bagaimana rakyat ikut mengawasi secara demokratis,” kata Bendi.