Onetime.id, Lampung – Gelombang demonstrasi, penjarahan rumah anggota DPR, hingga pembakaran gedung DPRD di sejumlah daerah menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia.
Aksi itu bukan sekadar ledakan spontan, melainkan kulminasi akumulasi kekecewaan rakyat terhadap perilaku wakilnya yang dinilai semakin jauh dari aspirasi publik.
Di Lampung, fenomena serupa ikut mencuat. Dari kursi kosong di ruang paripurna, anggota dewan yang tertidur saat sidang, hingga perilaku asyik bermain gawai dan live TikTok ketika rapat berlangsung, semua menjadi potret buram DPRD sebagai institusi representasi rakyat.
Jumlah DPRD di Lampung meliputi seluruh kabupaten/kota: Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Pringsewu, Pesawaran, Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Mesuji, dan Way Kanan.

Pengamat politik Universitas Lampung (Unila) Sigit Krisbintoro menilai, DPRD sebenarnya bisa menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan secara efektif tanpa harus terus-menerus berhadap-hadapan dengan kritik publik.
Syaratnya, lembaga legislatif mau membuka diri dan memberi ruang partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kerja politiknya.
“Transparansi harus hadir sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan perda. Forum dengar pendapat maupun portal legislasi bisa menjadi kanal partisipasi publik yang nyata,” kata Sigit pada Selasa, (2/9/ 2025).

Menurutnya, evaluasi kinerja dewan mutlak dilakukan.
Mekanisme sanksi administratif, bahkan recall, dapat diberlakukan bagi legislator yang malas, absen, atau menyalahgunakan kewenangan.
“Produk legislasi harus menjaga martabat manusia, bukan menambah beban hidup masyarakat,” ujarnya.
Komunikasi Politik yang Gagal Menyentuh Rakyat
Senada dengan itu, pengamat politik Unila lainnya, Darmawan Purba, melihat akar ledakan sosial justru terletak pada komunikasi politik yang gagal menyentuh akar persoalan rakyat.
“Bahasa politik para elite sudah tidak nyambung dengan keresahan rakyat. Aspirasi publik tersumbat dalam prosedur yang kaku, sementara rakyat berharap wakilnya hadir, berpihak, dan memperjuangkan kepentingan mereka,” kata Darmawan.
Ia menekankan perlunya pola komunikasi politik berbasis empati.
Bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga merasakan denyut keresahan masyarakat, mengakui keluhan mereka, dan menghadirkan solusi yang adil.

“Transparansi, konsistensi, dan kesediaan mendengar adalah kunci agar rakyat kembali percaya. Tanpa itu, krisis legitimasi akan terus berulang dalam bentuk gejolak sosial,” ujarnya.
Darmawan bahkan menawarkan konsep “3 Good” bagi DPRD Se-Lampung diantaranya adalah
1. Good Looking – citra moral, etika, dan kesopanan wakil rakyat.
2. Good Speaking – kemampuan berbicara santun, sederhana, sekaligus mau mendengar.
3. Good Acting – konsistensi antara ucapan dan tindakan, hadir dalam sidang, serius membahas kebijakan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
“Dengan prinsip ini, DPRD bisa dipandang bukan hanya sebagai kursi kosong di paripurna, tapi sebagai figur representasi yang layak dilihat, mampu berbicara, dan benar-benar bekerja,” kata Darmawan.
Cermin Buram di Gedung DPRD
Kritik para akademisi itu menemukan relevansinya dalam kejadian sehari-hari di Gedung DPRD Lampung.
Pada rapat paripurna membahas Raperda Perubahan APBD 2025, Selasa, 11 Agustus 2025, seorang anggota Fraksi PAN, Yusirwan, tertangkap kamera tertidur pulas.
Saat itu, rapat yang dipimpin Ketua DPRD Lampung Ahmad Giri Akbar hanya dihadiri 24 dari total 85 anggota dewan.
Kursi-kursi kosong tampak mencolok, seakan rapat anggaran hanyalah formalitas.
Fenomena ini, menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Candrawansyah, adalah gejala kegagalan partai politik dalam menyaring calon legislatif yang layak.
“Komunikasi politik dan tingkah laku pejabat publik ada yang salah. Kalau hal-hal seperti tidur saat sidang dibiarkan, itu bisa jadi pemicu kemarahan rakyat berikutnya,” kata Candrawansyah.
Ia menekankan bahwa partai politik tidak boleh hanya mengandalkan popularitas saat merekrut calon legislatif.

“Yang dibutuhkan adalah sosok yang layak, mampu, dan berorientasi membangun daerah,” ujarnya.
Rakyat Bukan Numpang
Lebih keras lagi, pemerhati kebijakan hukum dan publik Benny N.A Puspanegara menyebut perilaku elitis dan arogan para wakil rakyat sebagai pemicu kemarahan publik.
“Tidak ada pembenaran untuk penjarahan atau perusakan, tapi harus dipahami bahwa itu wujud akumulasi kekecewaan rakyat yang dihina dan dijoget-jogeti saat hidup makin terhimpit,” ujarnya.
Menurut Benny, rakyat bukan penumpang di negara ini, melainkan pemilik sah kedaulatan.

“Rakyat berdaulat, itu absolut. Kalau DPRD masih terus tidur, bolos rapat, sibuk main HP, dan hanya menuntut tunjangan, maka bukan hanya rakyat yang murka, tapi teguran Tuhan pun bisa datang,” katanya tegas.
Representasi yang Gagal
Pengamat politik Unila lainnya, Bendi Juantara, menyebut semua gejolak itu menegaskan lemahnya fungsi representasi politik DPRD.
“Rakyat melihat wakilnya tidak merasakan kondisi yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Inilah kulminasi gap yang kuat,” katanya.
Bendi menekankan perlunya peta jalan solutif yang disusun bersama rakyat, bukan sekadar menikmati fasilitas jabatan tanpa hasil nyata.
Ia juga mendorong agar masyarakat sipil terus menjaga partisipasi politik.
“Dengan kontrol rakyat yang berjalan, kekuasaan bisa tetap diawasi secara demokratis,” ujarnya.

Momentum Berbenah
Rangkaian kritik dari akademisi hingga pemerhati publik itu menegaskan satu hal DPRD Lampung berada di persimpangan.
Antara terus melanggengkan gaya lama yang elitis dan abai, atau berbenah dengan komunikasi politik berbasis empati, transparansi, dan kesediaan mendengar.
Jika tidak, kursi kosong, legislator tertidur, dan sidang yang hanya formalitas akan menjadi simbol krisis legitimasi yang bisa memantik bara api protes rakyat kapan saja.