Onetime.id – Pemerhati politik dan pemerintahan daerah, Rosim Nyerupa, menyarankan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, untuk langsung melantik Welly Adi Wantra sebagai Sekretaris Daerah (Sekda), tanpa perlu menunggu proses seleksi rampung.
Nada sarkastik Rosim merespons polemik yang mengiringi seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekda Lampung Tengah.
Welly yang tak lain adalah adik ipar Bupati Ardito menjadi peraih nilai tertinggi dalam tahap administrasi dan rekam jejak.
“Kalau memang sudah diarahkan, buat apa repot-repot seleksi? Langsung lantik saja,” ujar Rosim, kepada media onetime.id Rabu (7/5/2025).
Berdasarkan penilaian panitia seleksi, Welly meraih skor 90 dalam verifikasi administrasi dan rekam jejak, atau 18 poin dari bobot total 20 persen.
Empat kandidat lain tertinggal cukup jauh, meski juga punya rekam jejak birokrasi yang kuat.
Meski tahapan seleksi kompetensi masih berlangsung, publik mulai mempertanyakan netralitas proses.
Kecurigaan menguat: apakah seleksi ini benar-benar berbasis merit, atau hanya formalitas yang membungkus keputusan politik?
Meritokrasi yang Dibajak Nepotisme
Dalam kajian administrasi publik, sistem merit menjadi fondasi utama rekrutmen pejabat.
Namun, jika relasi kekeluargaan lebih menentukan daripada kompetensi, maka seleksi berubah menjadi praktik patronase sebuah nepotisme struktural yang melemahkan prinsip good governance.
Rosim menyebut, relasi kekuasaan yang bertaut dengan ikatan keluarga rentan memunculkan konflik kepentingan.
Dampaknya, akuntabilitas birokrasi melemah, dan oligarki lokal menguat.
“Ini bukan cuma soal siapa yang dilantik, tapi tentang kepercayaan publik yang dirampas secara sistemik,” kata Rosim.
Nepotisme, menurut teori ekonomi politik korupsi, adalah bentuk korupsi paling halus tapi destruktif.
Ia tidak mencuri uang rakyat secara langsung, melainkan merampas kesempatan orang-orang yang lebih layak.
Max Weber, sosiolog Jerman, menyebut birokrasi modern harus impersonal dan rasional.
Bila loyalitas pribadi lebih dominan daripada kompetensi, birokrasi berubah menjadi alat kekuasaan pribadi.
Seleksi atau Sandiwara?
Jika seleksi hanya jadi legitimasi keputusan yang telah “dijodohkan” sejak awal, publik berhak menyebutnya sebagai window dressing.
Sebuah manipulasi prosedural yang membungkus keputusan politis dengan kerangka hukum.
Lebih berbahaya lagi bila praktik seperti ini dibiarkan menjadi norma baru.
Ketika nepotisme dilembagakan, bukan lagi penyimpangan, maka kegagalan reformasi birokrasi menjadi keniscayaan.
Catatan untuk Pansel dan Warga
Panitia seleksi (Pansel) mesti sadar bahwa publik tak lagi buta.
Independensi bukan hanya soal prosedur, melainkan keberanian moral melawan intervensi kuasa.
Masyarakat sipil juga harus aktif mengawal dan mendesak keterbukaan informasi publik dalam setiap tahapan seleksi.
Sebab jabatan Sekda bukan sekadar administratif. Ia adalah jantung pemerintahan daerah.
Bila jantung ini dikendalikan oleh orang yang dipilih bukan karena kemampuan, melainkan karena garis darah, maka yang sakit bukan hanya sistem, tapi masa depan daerah itu sendiri.






