Onetime.id – Bandar Lampung tengah menghadapi darurat banjir yang semakin parah, mengganggu aktivitas masyarakat dan melumpuhkan berbagai sektor, termasuk ekonomi dan transportasi.
Namun, di tengah kondisi ini, Pemerintah Kota Bandar Lampung dinilai belum memberikan prioritas yang memadai terhadap upaya mitigasi bencana banjir.
Ketua BEM Universitas Lampung, M. Ammar Fauzan, mengkritik kebijakan Pemkot Bandar Lampung yang dianggap belum serius dalam menangani persoalan banjir.
Menurutnya, banjir yang semakin intens terjadi akibat minimnya kebijakan pro-mitigasi, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), serta masifnya alih fungsi lahan yang tidak terkontrol.
Pengelolaan lingkungan yang buruk memperparah kondisi ini, menciptakan kota dengan wajah beton yang semakin sesak dan kekurangan area resapan air.
“Alih-alih fokus pada solusi konkret untuk mengatasi banjir, pemerintah justru berambisi membangun proyek kereta gantung yang akan menghabiskan anggaran besar. Ini bertentangan dengan semangat efisiensi yang dicanangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025,” ujar Ammar kepada media Onetime.id Senin, (24/2/2025).
Penyusutan RTH yang signifikan turut menjadi sorotan. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 14 Tahun 2022.
Setiap kota diwajibkan memiliki RTH minimal 30% dari total luas wilayah, terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
Namun, realitas di Bandar Lampung menunjukkan bahwa angka ini jauh dari harapan, memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.
Banjir yang semakin sering terjadi juga dikaitkan dengan dampak krisis iklim yang memperburuk cuaca ekstrem dan perubahan topografi kawasan.
Hal ini mendorong meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologi yang semakin masif.
Sebagai solusi, Ammar dan kelompoknya mendesak Pemkot Bandar Lampung untuk segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sesuai dengan kondisi aktual kota.
Penyusunan aturan ini, menurutnya, harus dilakukan secara terbuka, melibatkan berbagai pihak, dan tidak sekadar memfasilitasi alih fungsi lahan demi kepentingan ekonomi yang eksploitatif.
“Pemkot harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dinas terkait, masyarakat, akademisi, serta kelompok masyarakat sipil, dalam membentuk forum demokratis untuk merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam menyelesaikan persoalan banjir di Bandar Lampung,” tegas Ammar.
Dengan berbagai tantangan yang ada, masyarakat berharap pemerintah lebih serius dalam menangani masalah lingkungan, terutama dalam aspek mitigasi bencana banjir.
“Langkah konkret yang berbasis pada kebutuhan masyarakat menjadi hal yang mendesak agar Bandar Lampung tidak terus-menerus terjebak dalam siklus bencana yang berulang,” tandas Ammar.






