Rosim Nyerupa Sebut 100 Hari Kerja Bupati Ardito Cai Bucai

Ketua Pusat Studi Kebijakan Daerah (Puskada) Lampung Tengah, Rosim Nyerupa. Ilustrasi: onetime.id

Onetime.id – Seratus hari kerja pertama Bupati Lampung Tengah, dr. Ardito Wijaya, menjadi sorotan tajam dari kalangan masyarakat sipil.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Daerah (Puskada) Lampung Tengah, Rosim Nyerupa, menyebut masa awal ini sebagai “panggung simbolik tanpa arah” yang lebih banyak berisi seremoni ketimbang substansi perubahan.

“Seratus hari pertama adalah jendela awal melihat arah dan watak kepemimpinan kepala daerah. Sayangnya, Ardito lebih banyak menghabiskan waktu untuk aktivitas simbolik,” ujar Rosim, Senin (2/6/2025).

Ardito memulai masa jabatannya dengan mengikuti Retreat Kepala Daerah program Presiden, serta kegiatan konsolidasi internal birokrasi dan aksi bersih-bersih taman kota di kawasan Terbanggi, Bandar Jaya, dan Gunung Sugih.

Meski penting sebagai langkah awal, Rosim menilai semua itu belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

“Masyarakat tak butuh taman bersih jika jalan rusak parah. Tak butuh selfie kepala daerah jika puskesmas kekurangan dokter. Ini bentuk alienasi kekuasaan dari rakyat,” lanjutnya.

Janji Tinggal Janji

Ardito dan pasangannya Komang Koheri mengusung 30 program unggulan saat kampanye. Namun, dalam 100 hari pertama, realisasi program masih minim.

Satu-satunya yang tampak adalah program “Ardito-Koheri Mengajar” (PAKEM), yang disebut-sebut mendekatkan pemimpin dengan dunia pendidikan.

Meski apresiatif, Rosim menilai program itu belum menyentuh persoalan struktural seperti peningkatan kualitas guru atau digitalisasi sekolah.

“PAKEM rawan jadi program populis dangkal jika tidak ditopang langkah kebijakan jangka panjang,” jelasnya.

Di sektor infrastruktur, pembangunan Islamic Center kembali dilanjutkan.

Proyek ini digagas sejak era Bupati Mustafa dan berlanjut di masa Musa Ahmad.

Ardito meneruskannya sebagai ikon baru daerah. Namun, pembangunan jalan desa yang menjadi janji utama masih minim progres.

“Masyarakat masih mengingat janji Rp400 miliar per tahun untuk infrastruktur jalan. Tapi APBD Lampung Tengah yang terbatas membuat janji itu tampak terlalu ambisius tanpa strategi pendanaan alternatif,” papar Rosim.

Konflik Sosial dan Lemahnya Respons Pemerintah

Kritik tajam juga diarahkan pada lambannya pemerintah dalam menangani konflik sosial.

Di Kampung Gunung Agung, bentrok antarwarga akibat dugaan korupsi bansos menewaskan satu orang.

Sementara di Anak Tuha, demonstrasi menuntut penyelesaian konflik agraria HGU PT. BSA tak direspons memadai.

“Bupati Ardito jadi satu-satunya kepala daerah di Indonesia yang kantornya digeruduk dalam 100 hari kerja. Tapi progres penyelesaian konflik masih kabur,” kata Rosim.

Kebijakan Kontroversial dan Isu Nepotisme

Satu bulan setelah pelantikan, insentif aparatur kampung dan Linmas dipotong.

Kepala kampung, sekretaris, BPK hingga Linmas mengalami penurunan tunjangan yang drastis.

Kebijakan ini dinilai menurunkan semangat kerja di level akar rumput.

Alih-alih membangun antusiasme, Bupati justru mematikan loyalitas para petugas kampung. Ini bertentangan dengan janji politik Ardito-Komang yang menjanjikan kesejahteraan aparatur desa,” ujar Rosim.

Tak hanya itu, isu jual beli jabatan juga mulai menyeruak. Rosim menyebut, belum ada satu pun pernyataan resmi dari Bupati yang menegaskan penolakan terhadap praktik tersebut.

“Tiga bulan menjabat, belum ada komitmen publik terhadap pemerintahan bersih. Ini memperkuat isu jual beli jabatan yang ramai dibicarakan ASN,” katanya.

Puncak dari kontroversi itu adalah seleksi Sekda Lampung Tengah. Beredar kabar dua kakak-adik ipar Bupati disiapkan untuk posisi strategis.

Jika terbukti, hal ini melanggar prinsip meritokrasi dan berpotensi membentuk dinasti kekuasaan lokal.

Pemerintah Kosmetik, Rakyat Terlupakan

Rosim menilai, 100 hari Ardito lebih sibuk menata estetika pemerintahan ketimbang melayani kebutuhan rakyat.

“Pemerintah yang gagal memberi makna pada 100 hari pertamanya adalah pemerintah yang sedang mempercepat delegitimasinya sendiri. Yang muncul hanya jeritan aparatur kampung, konflik sosial, hingga isu nepotisme. Ini potret pemerintahan yang lupa rakyat,” pungkas Rosim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *