Klasika Kecam Polisi Jadikan Buku Barang Bukti Kerusuhan Demo

Direktur Kelompok Studi Kader (Klasika) Ahmad Mufid. Ilustrasi: Wildanhanafi/onetime.id.

Onetime.id, Bandar Lampung – Kelompok Studi Kader (Klasika) mengecam langkah aparat kepolisian yang menyita buku dan menjadikannya barang bukti dalam kasus kerusuhan saat demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat beberapa waktu terakhir.

Direktur Klasika, Ahmad Mufid, menilai praktik tersebut sebagai bentuk kriminalisasi pemikiran dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

“Jika buku disita hanya karena isi atau paham yang dianggap berbahaya tanpa bukti konkret keterkaitan dengan tindak pidana, maka penyitaan bisa dianggap tidak sah dan melanggar kepastian hukum,” ujar Mufid, pada Sabtu, (20/92025).

Sejumlah kasus penyitaan buku oleh polisi mencuat dalam beberapa pekan terakhir.

Di Bandung, Polda Jawa Barat menyita sejumlah buku dari tersangka kericuhan di Gedung DPRD Jabar, antara lain Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, serta Sastra dan Anarkisme.

Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menyebut buku-buku tersebut berperan besar dalam membentuk pola pikir para pelaku.

Menurut dia, bacaan itu memantik ideologi anarkisme dan mendorong aksi anarkis.

Kasus serupa terjadi di Jakarta dalam penyidikan terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.

Polisi menyita sejumlah buku dari kantor dan rumahnya.

Di Surabaya, penyidik Polda Jatim juga menyita 11 judul buku dari tersangka kasus pembakaran pos polisi Waru, Sidoarjo, termasuk karya Karl Marx, Emma Goldman, Jules Archer, hingga Che Guevara.

Mufid menegaskan bahwa langkah penyitaan buku bermasalah secara hukum.

Menurutnya, Pasal 28E dan 28F UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi dan hak setiap orang untuk memperoleh serta menyimpan informasi.

Mahkamah Konstitusi juga pernah menegaskan lewat Putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 bahwa pelarangan atau penyitaan buku hanya bisa diputuskan lewat pengadilan.

“Artinya, praktik penyitaan buku tanpa mekanisme peradilan jelas bertentangan dengan konstitusi,” kata Mufid.

Klasika pun menyatakan tiga sikap tegas. Pertama, menolak kembalinya praktik otoritarianisme yang kerap menggunakan dalih keamanan untuk membungkam kritik.

Kedua, mendesak aparat menghentikan penyitaan buku yang tak relevan dengan tindak pidana.

“Buku adalah ruang gagasan, bukan alat kekerasan,” tegasnya.

Ketiga, Klasika meminta pemerintah menghormati kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik sebagai syarat utama demokrasi.

“Penyitaan buku secara serampangan hanya akan mengulang pola lama pembungkaman. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika keberagaman gagasan dijaga, bukan dibungkam,” ujar Mufid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *