PAW Yus Bariah Dinilai Cacat Hukum, Akademisi: Rakyat dijadikan Korban Oligarki Partai

Akademisi Hukum Unila, Dr.Muhtadi. Ilustrasi: Onetime.id

Onetime.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) secara resmi memberhentikan Yus Bariah sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung. Pemberhentian ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Mendagri Nomor 100.2.1.4-2037 Tahun 2025.

SK tersebut diterbitkan setelah adanya usulan dari DPRD Provinsi Lampung melalui surat Nomor 100.2.1/0128/III.01/30/2025 tertanggal 23 Januari 2025, yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPRD Naldi Rinara.

Usulan itu diperkuat dengan surat dari Penjabat Gubernur Lampung Nomor 100.1.4/0495/01/2025 tanggal 31 Januari 2025, yang mengusulkan agar posisi Yus Bariah digantikan oleh Abdul Aziz dari PKB melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW).

Yus Bariah diberhentikan dari keanggotaan PKB karena dinilai melanggar disiplin partai, dengan mendukung pasangan calon kepala daerah yang tidak diusung oleh DPP PKB di Pilkada Lampung Timur 2024.

Sebagaimana diketahui, Yus Bariah merupakan istri dari Dawam Rahardjo, mantan Bupati Lampung Timur sekaligus eks Ketua DPC PKB Lampung Timur.

Dawam tidak memperoleh rekomendasi dari PKB dan justru maju melalui dukungan PDI Perjuangan.

Yus Bariah adalah anggota DPRD Lampung periode 2024–2029 dari Daerah Pemilihan Lampung Timur.

Ia memperoleh suara terbanyak kedua dari PKB dalam Pemilu 2024.

Berdasarkan dokumen DPRD, kursi Yus akan diisi Abdul Aziz, yang menempati urutan kelima suara terbanyak dari PKB di dapil tersebut.

Adapun peraih suara ketiga dan keempat, Binti Amanah dan Noverisman Subing, telah diberhentikan dari keanggotaan partai sejak 20 November 2024.

Hingga kini, Ketua DPRD Lampung Ahmad Giri Akbar dan Ketua Fraksi PKB DPRD Lampung Fatikahtul Khoiriyah belum memberikan pernyataan resmi terkait hal ini.

Akademisi Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Muhtadi, menilai proses PAW harus dilihat secara cermat dari sisi hukum dan prosedurnya.

“Kalau syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 355 UU 17/2014 terpenuhi, seharusnya tidak perlu ada persoalan yang muncul di kemudian hari, kecuali memang secara prosedur dan substansinya tidak sesuai aturan,” ujar Muhtadi kepada media onetime.id pada Jum’at, (11/4/2025).

Dalam Pasal 355 disebutkan bahwa:

1. Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri; atau

c. diberhentikan.

2. Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 bulan berturut-turut tanpa keterangan;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD;

c. dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih;

d. tidak menghadiri rapat DPRD sebanyak 6 kali berturut-turut tanpa alasan sah;

e. diusulkan oleh partai politiknya;

f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD;

g. melanggar ketentuan larangan dalam undang-undang;

h. diberhentikan sebagai anggota partai; atau

i. menjadi anggota partai lain.

Muhtadi menegaskan, Semua pengaturan dalam Pasal 355 itu bersifat hukum, tidak ada yang politik pemaknaannya.

Jadi, kalau memang yang bersangkutan merasa itu tidak benar, ya gunakan mekanisme hukum juga.

Jika partainya yang mengajukan PAW ke DPRD, ya lawan melalui mekanisme internal partai yang diatur dalam AD/ART.”

Ia juga mengingatkan bahwa mendukung calon dari partai lain tidak otomatis berarti menjadi anggota partai lain.

“Sementara syarat PAW itu mesti pindah ke partai lain, bukan sekadar mendukung calon dari partai lain. Dan AD/ART partai juga harus mengatur seperti itu. Tidak boleh ada pengertian si PAW karena mendukung calon lain,” ujarnya.

Menurut Muhtadi, pengaturan Pasal 355 sangat ketat untuk menjaga agar suara rakyat tidak dimainkan oleh kepentingan partai.

“Jadi, jikapun parpol mengusulkan PAW, tetap harus dilaksanakan sesuai aturan hukum,” katanya.

Ia menilai, akan sangat berbahaya bagi negara jika seorang anggota DPRD bisa diberhentikan hanya karena mendukung calon dari partai yang berbeda.

“Setiap caleg begitu menjadi aleg, mereka bukan lagi menjadi wakil partai politik di DPRD, tapi beralih menjadi wakil bagi semua rakyat,” tegasnya.

“Karena itu, aturan hukum pemberhentiannya dibuat atas persetujuan wakil rakyat sebagai hukum yang tidak boleh dilanggar partai saat melakukan PAW,” lanjut Muhtadi.

Ia juga mengkritisi praktik kepartaian yang mengabaikan kapasitas calon kepala daerah demi loyalitas kepada pengurus pusat.

“Anggota legislatif yang benar itu akan mendukung calon yang sesuai kebutuhan masyarakat, meski beda partainya. Apalagi kalau calon dari partai sendiri memang tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan masyarakat, tapi sekadar dapat restu DPP,” ungkapnya.

“Dengan hanya mengikuti kemauan partai, DPP itu sama saja menyerahkan suara rakyat kepada oligarki bernama partai,” pungkas Muhtadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *