Onetime.id – Deretan piagam penghargaan yang terpajang di kantor Pemerintah Kabupaten Pesawaran ternyata menutupi wajah buram pengelolaan keuangan daerah.
Di balik citra keberhasilan pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan serangkaian masalah serius defisit anggaran kronis, tunggakan iuran BPJS Kesehatan, dan keterlambatan pembayaran hak pegawai.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan per 23 Mei 2025, BPK Perwakilan Lampung mencatat, sejak 2021 keuangan Pesawaran selalu berada dalam posisi defisit.
Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun: 2021: Rp34,9 miliar 2022: Rp77,7 miliar 2023: Rp97,3 miliar 2024: Rp66,1 miliar
Akibat defisit yang berulang, pemerintah daerah menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp19,76 miliar per 31 Desember 2024.
Tunggakan ini berdampak langsung pada ribuan aparatur sipil negara (ASN), perangkat desa, dan peserta mandiri penerima bantuan iuran (PBPU) yang kini terancam kehilangan hak layanan kesehatan.
Selain itu, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) senilai Rp6,97 miliar juga belum dibayarkan.
Pemerhati kebijakan publik, Benny N.A. Puspanegara, menilai persoalan ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi dan undang-undang.
Menurut Benny pemerintah daerah memiliki kewajiban hukum menjamin hak dasar warga atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanatkan daerah untuk menyelenggarakan urusan wajib pelayanan dasar, termasuk kesehatan, serta mengelola APBD secara efisien dan akuntabel,” ujar Benny kepada media Onetime.id pada Senin, (6/10/2025).
“Jika defisit dibiarkan berulang dan iuran jaminan kesehatan tidak dibayar, maka kepala daerah telah gagal menjalankan amanat undang-undang,” tambah Benny.
Ia juga merujuk UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menegaskan negara bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya dalam pelayanan kesehatan yang adil dan merata, serta UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyebut iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ditanggung pemerintah.
“Tunggakan BPJS ini adalah bukti konkret kegagalan menjalankan amanat SJSN,” tegasnya.
Dalam laporannya, BPK menyebut salah satu penyebab defisit adalah keterlambatan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemerintah Provinsi Lampung.
Nilainya mencapai Rp59,67 miliar, sementara TDF (Transfer Daerah Fungsional) sebesar Rp185 juta juga belum diterima.
Namun, menurut Benny, alasan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran.
“Sejak kapan APBD disusun dengan mengandalkan dana yang belum pasti turun? Prinsip kehati-hatian fiskal justru diabaikan,” ujarnya.
Ia menilai, ketergantungan pada transfer antar-pemerintah tanpa strategi mitigasi menunjukkan Pemkab tidak memiliki cadangan fiskal, gagal mengatur skala prioritas, dan tidak menyiapkan rencana kontingensi ketika dana terlambat cair.
“Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi kegagalan struktural dalam tata kelola keuangan daerah,” katanya.
Di tengah krisis fiskal, Pemkab Pesawaran tetap menonjolkan deretan penghargaan di ruang-ruang publik.
Kondisi itu, menurut Benny, hanya menambah ironi.
“Apa arti penghargaan jika rakyat tidak bisa berobat? Apa makna prestasi jika pegawai tak menerima haknya?” ujarnya.
Ia menyebut langkah pemerintah daerah memamerkan piagam di tengah tunggakan dan defisit sebagai bentuk pencitraan tanpa legitimasi moral.
“Itu pembodohan publik yang berbahaya, karena menutupi krisis hak dasar warga dengan simbol semu keberhasilan,” katanya.
Benny mendesak sejumlah langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pertama, Gubernur Lampung diminta segera menuntaskan kewajiban transfer Dana Bagi Hasil (DBH) agar pelayanan publik di Pesawaran tidak lumpuh.
Kedua, mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona harus bertanggung jawab atas manajemen fiskal yang gagal dan berdampak langsung terhadap pelayanan dasar.
Ketiga, DPRD Pesawaran perlu membentuk Panitia Khusus (Pansus) Tata Kelola Anggaran guna menelusuri penyebab defisit dan tunggakan BPJS.
Keempat, Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan penegak hukum diminta menelusuri kemungkinan pelanggaran administrasi atau penyimpangan anggaran yang berdampak sistemik.
“Pemerintahan daerah ada untuk memastikan rakyatnya hidup sehat dan sejahtera, bukan untuk mengoleksi piagam dan menyusun laporan indah,” ujar Benny.
“Jika negara gagal melindungi hak dasar rakyat, maka ini bukan sekadar defisit anggaran ini defisit moral dan defisit keberpihakan,” tandas Benny.