Onetime.id – Proses seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Tengah menyisakan bau anyir.
Mekanisme yang seharusnya steril dari intervensi kekuasaan justru diduga menjadi panggung konsolidasi keluarga penguasa.
Dua dari tiga nama yang lolos sebagai kandidat utama Welly Adiwantra dan Deny Sanjaya diketahui bukan hanya saudara kandung, melainkan juga ipar dari Bupati Ardito Wijaya. Publik pun bereaksi: ini bukan seleksi, ini penunjukan terselubung.
“Bukan sekadar cacat, ini kejahatan etika birokrasi,” kata Sofian Hendarsyah, Fungsionaris Badko HMI Sumbagsel, Sabtu malam (31/5/2025).
“Dua saudara kandung maju jadi Sekda dan punya hubungan darah dengan kepala daerah? Ini bukan proses seleksi, ini konsolidasi kuasa dalam selimut birokrasi.”
Sofian menyebut proses ini sebagai bentuk “kejahatan moral” dalam tubuh pemerintahan daerah. Jika dibiarkan, katanya, kita tidak sedang membangun pemerintahan yang baik, tapi memelihara dinasti.
Pansel Bungkam, Publik Murka
Ketua Panitia Seleksi, Prof. Dr. Moh. Mukri, yang juga mantan Rektor UIN Raden Intan Lampung, enggan menjawab ketika ditanya media soal indikator penilaian tiap tahapan seleksi.
Diamnya pansel dinilai bukan sekadar abai, tapi secara aktif mengkhianati prinsip keterbukaan.
“Prof. Mukri seharusnya jadi benteng integritas. Tapi sikap bungkamnya justru menguatkan dugaan: pansel hanya jadi stempel formalitas,” ujar Sofian.
Berdasarkan PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019, seleksi JPTP wajib memenuhi empat tahapan utama: administrasi dan rekam jejak, uji kompetensi, penulisan makalah, dan wawancara akhir.
Namun, semuanya kini dipertanyakan publik.
Dalam tahap rekam jejak, relasi darah antara kandidat dan kepala daerah adalah konflik kepentingan terbuka.
Bahkan, nama Welly Adiwantra sempat terseret dalam dugaan kasus penerimaan honorer Kota Metro.
UU Nomor 5 Tahun 2014 menegaskan bahwa pengisian JPT harus bebas konflik kepentingan dan berdasarkan prinsip meritokrasi.
Tapi yang terjadi di Lampung Tengah justru sebaliknya, sistem merit dikalahkan ikatan keluarga.
Transparansi Mati, Meritokrasi Terkubur
Tahap uji kompetensi yang seharusnya obyektif tak dijelaskan ke publik. Mekanisme penilaian makalah para kandidat juga gelap.
Wawancara akhir tahap krusial untuk menggali integritas dilakukan tertutup, tanpa pengawasan independen.
“Apakah birokrasi bekerja untuk rakyat atau untuk keluarga?” sindir Sofian.
Ia menegaskan, jabatan Sekda bukan sekadar jabatan administratif.
Ia adalah otak penggerak roda birokrasi daerah.
Jika jabatan ini jatuh ke tangan orang-orang dekat kepala daerah tanpa proses yang bersih, birokrasi berubah jadi alat dinasti.
Ujian Moral Gubernur dan Kemendagri
Sofian menyerukan kepada Gubernur Lampung agar tak tinggal diam. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, gubernur berwenang memberikan pertimbangan atas hasil seleksi tiga besar, sekaligus wajib mengawasi jalannya pemerintahan kabupaten/kota.
“Ketika seleksi mengandung konflik kepentingan dan dugaan pelanggaran etik, gubernur tak bisa hanya menonton. Ia wajib bertindak.”
Sofian juga meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turun tangan. Berdasarkan PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019 dan PP No. 11 Tahun 2017, Kemendagri memiliki mandat untuk menolak hasil seleksi yang cacat.
“Jika Kemendagri hanya menjadi stempel dari proses yang sudah busuk sejak awal, maka kredibilitas lembaga ini ikut terbenam,” tegasnya.
Ia menegaskan, Kemendagri harus menggunakan kewenangannya untuk melakukan audit, mengevaluasi integritas pansel, serta menolak pelantikan jika ditemukan pelanggaran prinsip objektivitas dan etika publik.
Kesimpulan: Jangan Biarkan Birokrasi Disandera
Fenomena Lampung Tengah adalah alarm bagi seluruh pemerintahan daerah, ketika proses seleksi berubah menjadi panggung keluarga, maka demokrasi administratif sedang sekarat.
“Jika ini dibiarkan, semua seleksi jabatan hanya akan menjadi teater. Yang hidup hanyalah kroni dan keluarga. Transparansi mati, meritokrasi dikubur.”