Onetime.id – Aktivis demokrasi asal Lampung, Husni Mubarak, menyebut situasi Pemungutan Suara Ulang (PSU) di salah satu kabupaten sebagai “darurat demokrasi”.
Bukan tanpa alasan. Biaya pemilu yang menembus puluhan miliar rupiah Rp28 miliar untuk pemilihan pertama, dan Rp23 miliar kembali digelontorkan untuk PSU dinilainya sebagai pemborosan yang tidak sebanding dengan kualitas demokrasi yang dihasilkan.
“Angka itu seharusnya cukup untuk membangun belasan sekolah atau memperbaiki jalan desa,” kata Husni. Tapi alih-alih memperkuat demokrasi, pemilu justru dipenuhi praktik kecurangan.
Menurut Husni, salah satu pasangan calon kepala daerah diduga menggunakan berbagai cara tidak etis demi meraih kemenangan.
Bahkan, aparatur sipil negara (ASN) yang seharusnya netral ikut bermain. “Birokrasi jadi alat politik,” ujarnya.
Ia menilai, publik seakan hanya menjadi penonton dalam pertarungan elite yang kian jauh dari esensi demokrasi.
“Kita harus bertanya: sampai kapan demokrasi dibajak oleh kekuasaan?” ucapnya pada Minggu, (4/5/2025).
Husni mengingatkan bahwa demokrasi bukan sekadar pesta lima tahunan, tapi sarana rakyat menentukan arah kehidupan.
Ia merinci lima prinsip dasar demokrasi yang kini mulai tergerus: kedaulatan rakyat, kesetaraan suara, akuntabilitas pemimpin, kebebasan memilih, dan persaingan yang sehat.
Jika prinsip-prinsip ini dikaburkan oleh manipulasi dan intimidasi, katanya, maka demokrasi hanya tinggal formalitas.
Pemimpin lahir bukan dari kehendak rakyat, tapi dari rekayasa sistem.
“Demokrasi idealnya melahirkan pemimpin cerminan kehendak rakyat,” ujar Husni.
“Tapi jika terus dikotori, demokrasi tinggal nama. Pertanyaannya: akankah rakyat terus diam?, tandas Husni bertanya-tanya.