Onetime.id – Di tengah riuhnya peringatan Hari Buruh, satu suara mengalun pelan namun menohok nurani: “Buruh tinta, jangan kau ubah kata menjadi dana,”
Kalimat itu dilontarkan oleh seorang jurnalis muda dalam tulisannya
Ia bukan orator. Bukan pula pengibar spanduk. Tapi ia mencatat. Ia merekam. Ia menulis. Dengan mata yang awas dan hati yang terus bergolak, ia menyebut dirinya sebagai buruh tinta.
Sepanjang perjalannya banyak jurnalis yang menyalahkan profesi. Selalu mengolah kata menjadi dana.
“Mirisnya kebenaran terbungkam hanya karena banyak yang bekerja dengan kata, menyuarakan suara yang sering disenyapkan,” tutur Riyo Jurnalis muda Tribun Lampung.
“Menulis itu pekerjaan jiwa. Tapi dalam kenyataan, kami juga bekerja untuk hidup,” katanya dengan lirih sendu.
“Yang kami takutkan bukan lelahnya menulis, tapi ketika kata-kata kami tak lagi berpihak, karena telah lebih dulu dibeli,”
Bagi jurnalis ini, Hari Buruh bukan hanya tentang upah dan tuntutan, tetapi tentang kesetiaan pada nilai.
Ia mengajak rekan seprofesi untuk tidak larut dalam godaan dunia yang menjadikan informasi sebagai komoditas.
“Berita bukan dagangan. Kata bukan mata uang,” ucapnya.
Di tengah derasnya arus digital dan tekanan ekonomi yang tak menentu, suara buruh tinta seperti dirinya mengingatkan bahwa di balik setiap tulisan, ada pilihan moral yang harus dijaga.
Bahwa menjadi jurnalis bukan sekadar profesi, tapi juga panggilan hati.
“Selama kami masih menulis dengan hati, selama itu pula kami masih layak disebut buruh bukan penjaja kata,” pungkasnya.