Onetime.id – Langit kelabu yang menggantung di atas Bandar Lampung, kini bukan lagi pertanda musim tanam.
Ia menjadi alarm bahaya. Setiap rintik hujan tak disambut doa syukur, melainkan kecemasan yang perlahan menjadi trauma kolektif.
“Sedikitnya delapan nyawa melayang hanya dalam empat bulan pertama tahun ini,” suara Kristin pecah dalam orasi di depan Kantor Wali Kota Bandar Lampung, Kamis siang, (24/4/2025).
Di tangannya, sebuah poster bertuliskan “Hujan Bukan Lagi Berkah” bergoyang pelan tertiup angin.
Kristin bukan satu-satunya yang menjerit. Di belakangnya, ratusan warga menyatukan suara, memanggul amarah yang selama ini mereka kubur bersama lumpur banjir yang datang berkali-kali.
Bencana yang mereka hadapi bukan lagi sekadar alam, tapi kelalaian yang tak kunjung ditangani.

Petaka itu pertama kali datang pada 17 Januari. Enam belas kecamatan tergenang, lebih dari 14 ribu rumah terendam, dua nyawa melayang.
Sebulan kemudian, banjir kedua menewaskan tiga orang dan mengusir puluhan ribu dari tempat tinggal mereka.
Awal Maret, meski tak ada korban jiwa, ratusan dievakuasi.
Dan pada 21 April, air kembali datang bersama maut di Panjang Utara, merenggut tiga jiwa dalam sekejap.
“Sekarang, kami takut tidur ketika hujan turun. Karena bisa saja, saat terbangun, rumah sudah hanyut,” kata Kristin, matanya basah.
Aksi massa hari itu bukan yang pertama. Sehari sebelumnya, mereka telah berusaha menemui Wali Kota Eva Dwiana.
Tak digubris. Maka unjuk rasa pun digelar lebih lantang, lebih keras, meski sempat diadang dan diintimidasi aparat.
Di tengah kerumunan, Wahyu berdiri memegang megafon.
“Wali Kota adalah penanggung jawab utama kekacauan ini,” tegasnya.
Ia menyebut banjir bukan lagi sekadar bencana, melainkan akibat dari serangkaian pembiaran: ruang terbuka hijau yang nyaris punah, bukit-bukit yang dikuliti tambang, sungai yang dangkal oleh sampah, dan sistem drainase yang lebih banyak menjadi sumber masalah ketimbang solusi.
“RTH kita tinggal 4,5 persen. Dari 33 bukit di kota ini, hampir semuanya rusak. Sungai tersumbat, drainase lumpuh, dan yang kami dapat hanya bantuan nasi bungkus serta air mineral,” ujar Wahyu.
“Kami tidak butuh tali asih. Kami butuh perlindungan,”
Ia menantang sang wali kota untuk memilih: bekerja dengan solusi nyata atau mundur.
“Jika tak mampu, jangan pertahankan jabatan. Ini soal nyawa, bukan pencitraan.”
Di tengah gerimis yang mulai turun sore itu, suara rakyat terus bergema di halaman kantor wali kota.
Barangkali langit memang belum mau beranjak cerah.
Tapi di hati warga Bandar Lampung, ada harapan bahwa hujan suatu hari nanti akan kembali menjadi berkah bukan kutukan.